Kerja Sama Multilateral di Daerah Aliran Sungai Tumen: Antara Visi dan Realitas.
Kerja Sama Multilateral di Daerah Aliran Sungai Tumen: Antara Visi dan Realitas.
Pendahuluan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Tumen, yang
membentuk perbatasan antara Tiongkok, Korea Utara, dan Rusia sebelum bermuara
ke Laut Jepang, telah lama menjadi pusat ambisi geo-ekonomi yang besar. Sejak
awal 1990-an, kawasan ini menjadi ajang bagi salah satu inisiatif multilateral
paling ambisius namun juga paling menantang di kawasan Asia Timur Laut: Program
Pengembangan Kawasan Sungai Tumen (TRADP/Tumen River Area Development
Programme). Dikandung sebagai mesin pertumbuhan regional, proyek ini bertujuan
untuk mengubah kawasan terpencil dan terbelakang menjadi koridor transportasi
dan pusat perdagangan yang menghubungkan jantung daratan Mongolia dan Tiongkok
bagian timur laut dengan lautan dunia. Analisis ini akan menguraikan evolusi,
pencapaian, tantangan, dan prospek masa depan dari kerja sama multilateral di
DAS Tumen, dengan mengevaluasi mengapa sebuah proyek dengan potensi yang begitu
besar terus bergulat dengan realitas implementasi yang keras.
1. Konteks Awal: Kelahiran Sebuah Visi Multilateral.
Munculnya Proyek Tumen pada akhir
1980-an dan awal 1990-an bukanlah suatu kebetulan, melainkan cerminan langsung
dari lanskap geopolitik dan ekonomi yang berubah pasca-Perang Dingin.
Inisiatif Tiongkok dan Peran Katalis
UNDP: Gagasan awal pengembangan bersama Sungai Tumen yang dapat dilayari
dicetuskan oleh Tiongkok pada tahun 1989. Hal ini selaras dengan strategi
reformasi dan keterbukaan Tiongkok yang lebih luas, yang mencari saluran baru
untuk pertumbuhan ekonomi, khususnya di wilayah timur laut (Dongbei) yang
kurang berkembang. Namun, transformasi gagasan bilateral ini menjadi sebuah
kerangka kerja multilateral yang melibatkan Korea Utara, Rusia, Mongolia,
Jepang, dan Korea Selatan (sebagai negara-negara yang berkepentingan)
dimungkinkan oleh keterlibatan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNDP). UNDP bertindak sebagai fasilitator yang netral, menyelenggarakan
konferensi pertama di Changchun dan Ulaanbaatar pada tahun 1991, dan secara
resmi meluncurkan TRADP. Peran UNDP sangat krusial pada tahap ini, karena
memberikan legitimasi internasional dan platform dialog yang aman bagi
negara-negara dengan hubungan diplomatik yang tegang, khususnya antara Korea
Utara dengan Jepang dan Korea Selatan.
Motivasi Beragam Negara Anggota: Daya
tarik proyek ini terletak pada janjinya yang dapat memenuhi kebutuhan yang
berbeda bagi setiap peserta.
Bagi Tiongkok, proyek ini menawarkan
jalan keluar yang sangat dibutuhkan ke laut untuk Provinsi Jilin yang terkurung
daratan, sehingga mengurangi ketergantungannya pada pelabuhan-pelabuhan yang
jauh seperti Dalian dan Tianjin.
Bagi Korea Utara, proyek ini merupakan
peluang langka untuk mendapatkan investasi asing, mata uang keras, dan
teknologi tanpa harus melakukan reformasi politik dan ekonomi secara
menyeluruh, sekaligus membuka wilayah terpencilnya seperti Rason
(Rajin-Sonbong).
Bagi Rusia, proyek ini menjanjikan
revitalisasi ekonomi di Wilayah Primorsky yang tertekan dengan memanfaatkan
pelabuhan seperti Zarubino dan Posiet, serta menjadi bagian dari rute
perdagangan baru.
Bagi Mongolia, proyek ini menawarkan
akses ke laut yang lebih dekat dan lebih murah, sebuah kepentingan strategis
nasional bagi negara yang terkurung daratan.
Bagi Korea Selatan dan Jepang, proyek
ini membuka pasar dan rute logistik baru ke daratan Asia yang kaya akan sumber
daya, sambil berpotensi membawa Korea Utara ke dalam komunitas internasional.
2. Tahap Awal dan Momentum yang Terbentuk (1990-an).
Pada dekade pertama, proyek Tumen
menunjukkan momentum yang signifikan, didorong terutama oleh komitmen kuat
Tiongkok dan investasi awal.
Strategi Tiongkok: Membangun Fondasi
dari Dalam: Pihak Tiongkok memahami bahwa untuk menjadi pemain utama dalam
proyek multilateral, mereka harus terlebih dahulu memperkuat kapasitas
domestiknya. Pemberian status "Kota Perbatasan Terbuka" kepada
Hunchun pada tahun 1992 dan pendirian Zona Kerja Sama Ekonomi Perbatasan
Hunchun adalah langkah-langkah strategis. Kebijakan ini bertujuan untuk menarik
investasi, mengembangkan industri, dan membangun infrastruktur pendukung. Hasilnya
terlihat nyata: peningkatan produksi industri dan pendapatan fiskal di
Prefektur Yanbian, serta berdirinya ratusan usaha patungan dengan modal asing
yang signifikan. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa Tiongkok tidak hanya
menunggu kesepakatan multilateral, tetapi secara aktif memposisikan diri
sebagai pusat gravitasi ekonomi proyek.
Pengembangan Infrastruktur dan Koridor
Transportasi: Visi inti dari proyek Tumen adalah menciptakan koridor
transportasi internasional. Pada 1990-an, upaya konkret dilakukan untuk
mewujudkannya. Pembangunan jalur kereta api seperti Tumen-Hweryeong-Chongjin
dan Tumen-Aoji-Rajin (di Korea Utara) merupakan kemajuan fisik yang penting.
Koridor-koridor ini dirancang untuk menghubungkan jaringan kereta api Tiongkok
dengan pelabuhan-pelabuhan Korea Utara di Laut Jepang, seperti Rajin, yang
memiliki keunggulan alam dengan dermaga yang dalam yang mampu menampung kapal
berkapasitas 30.000 ton. Rute yang diusulkan, seperti
Changchun-Tumen-Rajin-Niigata (Jepang), menggambarkan potensi revolusioner
proyek ini dalam membuka rute perdagangan baru yang dapat bersaing dengan rute
tradisional melalui Semenanjung Liaodong.
Hambatan Awal dan Penyesuaian Strategi:
Namun, tantangan segera muncul. Rencana ambisius Tiongkok untuk membangun
pelabuhan di Hunchun, misalnya, terbentur pada kenyataan teknis dan politik.
Kesulitan teknis seperti pengerukan sungai yang mahal dan masalah navigasi,
ditambah dengan kompleksitas politik yang melibatkan kedaulatan dan hak
berlayar di sungai perbatasan, menyebabkan proyek pelabuhan Hunchun akhirnya
ditinggalkan pada tahun 1998. Kegagalan ini memaksa para perencana untuk
mengevaluasi ulang dan beralih ke strategi yang lebih pragmatis: memanfaatkan
infrastruktur yang sudah ada. Hal ini menyebabkan meningkatnya fokus pada
pelabuhan Rusia (Posiet, Zarubino) dan Korea Utara (Rajin, Sonbong) sebagai
pintu gerbang alternatif menuju laut bagi Jilin.
3. Tantangan Struktural yang Menghambat Kemajuan.
Meskipun ada kemajuan awal, sejumlah
tantangan struktural yang mendalam mencegah proyek Tumen untuk mewujudkan
potensi penuhnya pada abad ke-20.
Dinamika Geopolitik yang Rumit: Proyek
Tumen terperangkap dalam narasi geopolitik yang lebih luas di Asia Timur Laut.
Ketegangan antara Korea Utara dengan AS, Jepang, dan Korea Selatan yang
berpusat pada program nuklir Korea Utara, penculikan, dan status gencatan
senjata menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi kerja sama ekonomi
jangka panjang yang membutuhkan kepercayaan dan stabilitas. Sanksi internasional
yang dikenakan pada Korea Utara semakin mempersulit pembiayaan proyek, transfer
teknologi, dan keterlibatan perusahaan internasional. Ketidakpercayaan sejarah
antara negara-negara anggota, seperti antara Tiongkok dan Rusia mengenai
pengaruh di kawasan tersebut, juga menambah lapisan kompleksitas lainnya.
Kesenjangan Pembangunan dan Masalah
Infrastruktur: Terdapat kesenjangan pembangunan yang lebar antara para peserta.
Sementara Tiongkok dengan cepat memodernisasi wilayah perbatasannya,
infrastruktur di sisi Korea Utara dan Rusia tertinggal jauh. Jalan dan rel
kereta api yang buruk, fasilitas pelabuhan yang ketinggalan zaman, dan jaringan
listrik yang tidak memadai di wilayah Korea Utara dan sebagian Rusia menjadi
penghambat utama. Seperti yang disebutkan dalam teks, ketidakmampuan pelabuhan
untuk menampung kapal berkapasitas besar (50.000-100.000 ton) membatasi
efisiensi ekonomi dari koridor yang diusulkan. Investasi yang dibutuhkan untuk
menutup kesenjangan ini sangat besar dan berisiko, mengingat lingkungan politik
yang tidak pasti.
Tantangan Kelembagaan dan Tata Kelola:
TRADP bergumul dengan masalah tata kelola. Ketiadaan kerangka hukum yang kuat
dan jelas untuk melindungi investasi, menyelesaikan sengketa, dan mengatur
masalah lintas batas seperti bea cukai, asuransi, dan imigrasi merupakan
penghalang signifikan bagi investor swasta. Selain itu, kurangnya komitmen
politik yang berkelanjutan dari semua pihak, yang sering kali mengutamakan
agenda nasional yang sempit daripada visi regional, melemahkan momentum
kolektif. Proyek ini sering kali menjadi korban dari siklus ketegangan dan
pendekatan kembali di Semenanjung Korea.
4. Evolusi dan Ketahanan: Dari TRADP ke Greater Tumen Initiative (GTI).
Yang menarik dari kerja sama di DAS
Tumen adalah ketahanannya. Alih-alih bubar, kerangka kerjanya beradaptasi
dengan tantangan yang ada.
Transisi ke Greater Tumen Initiative
(GTI): Menyadari perlunya pendekatan yang lebih realistis dan terfokus, program
ini direstrukturisasi dari TRADP menjadi Greater Tumen Initiative (GTI) pada
tahun 2005. Perubahan ini bukan sekadar perubahan nama. Ini menandai pergeseran
dari visi awal pembangunan zona ekonomi besar-besaran menuju pendekatan yang
lebih bertahap dan berbasis proyek. GTI lebih memusatkan perhatian pada
pengembangan kerangka kerja kebijakan yang memfasilitasi investasi dan perdagangan,
serta mempromosikan proyek-proyek percontohan yang lebih kecil di bidang-bidang
seperti transportasi, energi, dan pariwisata.
Kontinuitas di Tengah Tantangan: Seperti
yang ditunjukkan dalam teks, "kerja sama internasional di kawasan tersebut
terus berlanjut." Terlepas dari tidak terwujudnya megaproyek 1990-an,
kerja sama pada tingkat yang lebih rendah terus berjalan. Penggunaan pelabuhan
Rajin oleh perusahaan Tiongkok, diskusi berkelanjutan tentang pemanfaatan
pelabuhan Zarubino Rusia, dan pertemuan rutin di bawah payung GTI adalah bukti
dari ketahanan ide tersebut. Negara-negara anggota, khususnya Tiongkok, terus
melihat nilai strategis jangka panjang dalam mengamankan akses ke Laut Jepang,
dan karenanya tetap berinvestasi dalam dialog dan proyek-proyek kecil.
5. Prospek Masa Depan dan Kesimpulan.
Masa depan kerja sama multilateral di
DAS Tumen tetap tidak pasti, namun tidak sepenuhnya suram. Beberapa faktor akan
menentukan traject-nya.
Faktor Penentu: Dinamika Korea Utara:
Masa depan proyek Tumen sangat terkait dengan masa depan Korea Utara sendiri.
Jika terjadi pembukaan ekonomi atau proses denuklirisasi yang signifikan yang
mengarah pada pencabutan sanksi, proyek Tumen bisa mengalami kebangkitan yang
dramatis. Pelabuhan Rajin dan Songbong serta zona ekonomi Rason bisa menjadi
pusat logistik dan manufaktur regional. Namun, tanpa perubahan fundamental di
Pyongyang, keterbatasan dan risiko yang terkait dengan berbisnis di Korea Utara
akan terus membayangi proyek-proyek besar.
Peluang Kerja Sama Segitiga
Tiongkok-Rusia-Korea Utara: Di tengah ketegangan dengan Barat, terdapat potensi
yang meningkat untuk kerja sama segitiga yang lebih erat antara Tiongkok,
Rusia, dan Korea Utara. Ketiga negara memiliki kepentingan bersama dalam
mengembangkan kawasan perbatasan mereka dan mematahkan dominasi logistik yang
ada. Investasi Tiongkok dalam infrastruktur pelabuhan Rusia yang dikombinasikan
dengan akses transit melalui Korea Utara dapat menjadi model yang lebih layak
dalam jangka pendek hingga menengah.
Integrasi dengan Inisiatif yang Lebih
Luas: Visi koridor transportasi DAS Tumen dapat diintegrasikan dengan inisiatif
yang lebih besar seperti Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI)
Tiongkok dan Strategi Pengembangan Timur Jauh Rusia. Pemberian status
"kemitraan strategis" pada GTI oleh BRI pada tahun 2020 menunjukkan
bahwa Tiongkok melihat konektivitas Tumen sebagai komponen dari jaringan
konektivitas globalnya yang lebih luas. Integrasi semacam ini dapat memberikan
suntikan dana dan momentum politik yang baru.
Kesimpulan.
Kerja sama multilateral di Daerah Aliran
Sungai Tumen adalah sebuah paradoks. Di satu sisi, ini adalah sebuah visi yang
didorong oleh logika ekonomi yang tak terbantahkan: menghubungkan sumber daya
daratan dengan rute perdagangan maritim yang efisien. Di sisi lain, visi ini
terus-menerus dibenturkan dengan realitas geopolitik yang keras dan kesenjangan
pembangunan dari para pesertanya. Dari analisis di atas, dapat disimpulkan
bahwa proyek Tumen bukanlah sebuah kegagalan, melainkan sebuah cerminan dari
kompleksitas Asia Timur Laut itu sendiri. Proyek ini telah berevolusi dari
mimpi besar pada 1990-an menjadi sebuah proses engagement yang lebih pragmatis
dan bertahan lama di bawah GTI. Keberhasilannya di masa depan tidak akan diukur
oleh terwujudnya sebuah "Hong Kong baru" di Laut Jepang dalam waktu
dekat, tetapi oleh kemampuannya untuk mempertahankan saluran dialog,
memfasilitasi proyek-proyek kerja sama yang kecil dan bertahap, dan pada
akhirnya, memposisikan diri sebagai platform siap pakai jika dan ketika
lingkungan politik regional berubah menjadi lebih kondusif. Jiwa dari kerja
sama Tumen tetap hidup, menunggu saatnya yang tepat untuk bersinar.
.webp)
Posting Komentar untuk " Kerja Sama Multilateral di Daerah Aliran Sungai Tumen: Antara Visi dan Realitas."